http://icrs.ugm.ac.id/10years
ICRS 10th Year Anniversary

Media Sosial Sebagai Media Kreatif Untuk Mewujudkan Toleransi Keberagamaan Di Indonesia

           #RIPMuhammadAli. Begitulah tagar yang menjaditranding topic di media sosial Twitter di awal bulan ramadlan ini. Hal ini menjadi manifestasi dari bentuk solidaritas dari dunia internasional atas wafatnya legenda tinju dunia, Muhammad Ali.  Selama berkarir di ring tinju, pria kelahiran Louisville, Kentucky, Amerika Serikat itu meninggalkan grand heritage bagi masyarakat dunia yaitu kerja keras, kasih sayang dan perdamaian. Kerja kerasnya dalam dunia tinju menobatkannya sebagai "Sportsman of the Century" oleh Sports Illustrated pada tahun 1999. 
       Selain menjadi petinju hebat, ia juga dikenal sebagai tokoh perdamaian atas upayanya dalam mengunjungi berbagai negara untuk menggemakan kampanye perdamaian. Hal itulah yang menahbiskan dirinya sebagai tokoh kebanggaan masyarakat luas. Maka wajar bila proses pemakamannya dihadiri banyak tokoh dunia dan masyarakat umum. Ada hal unik yang bisa kita amati pada pada proses pemakamannya. Sebelum dikebumikan secara Islam, digelarlah upacara penghormatan yang dihadiri masyarakat lintas agama ( Jawa Pos, 6 Juni 2016 ) 
         Namun, keagungan sosok dan kiprah Muhammad Ali sedikit terkikiskan oleh ulah sosok Omar Marteen yang menjadi dalang dibalik penembakan massal di kelab malam Pulse milik komunitas Guy di Orlando, Florida, AS. Diberitakan 50 orang tewas dalam penembakan itu. Inilah ironi besar. Disaat Muhammad Ali dengan getolnya mengkampanyekan sikap toleransi di dunia barat, terutama Amerika Serikat (AS), justru sosok lain menghidupkan kembali Islamphobia di AS yang justru merugikan Islam sendiri. Sekali lagi, tindakan Omar dan kawan-kawan bukanlah wujud dari syariat Islam yang rahmatan lil aalamin.  
            Dua Kasus di atas adalah realita yang terjadi dan harus kita hadapi pada saat ini. Bentuk pola pikir tidak menghargai (intoleran) masih menggejala di sekitar kita. Inilah tugas besar dari seluruh umat beragama untuk kembali merekonstruksi pemikiran menjadi pemikiran moderat ( tasamuh ). Hal ini dapat kita pahami bahwa berbagai bentuk keanekaragaman yang ada akan semakin memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran kita sehingga kita dapat terlahir menjadi pribadi yang saling menghargai antar sesama. Perbedaan adalah sunnatullah untuk menyatukan keberagaman. Sebagaimana Firman Allah SWT  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal  (QS. Al Hujurat : 13)

Membudayakan toleransi
       Lantas bagaimanakah substansi dasar dari toleransi itu sendiri ? KH. Ihya’ Ulumuddin (2003) menjelaskan toleransi beragama bermakna tidak memaksakan ajaran keagamaan tertentu kepada seseorang. Setiap individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi. Jika memahami pola ini, maka tidak mungkin terjadi perpecahan atau pertentangan berbau SARA yang berakibat pada perderitaan fisik, psikis maupun material di berbagai tempat di dunia termasuk di Indonesia. 
          Toleransi memiliki makna penting dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang besar. Dengan sikap toleransi, lahirlah elemen-elemen pemersatu bangsa seperti integitas, pengorbanan, kasih sayang dan perdamaian. Salah satu stategi ampuh untuk mewujudkan misi itu adalah melalui media, terutama media sosial online. Dengan penggunaan media sosial yang benar, akan tercipta pemahaman publik yang mendukung terjadinya toleransi dalam umat beragama 

Media sosial sebagai agen lifestyle  
        Wikipedia memaparkan Media sosial (medsos) mulai booming di abad 21 ini sejak ditemukannya sistem papan buletin (1978) yang menjadi embrio dari surat elektronik (email) kemudian lahir Geocities yang melayani web hosting (1995) dan jejaring sosial pertama, sixdegree.com (1997) hingga kemunculan jejaring sosial populer seperti Friendster (2002), LinkedIn, My Space (2003), Facebook (2004) dan Twitter (2006).
         Mengapa media sosial begitu menggejala di masyarakat ? tidak bisa dipungkiri media sosial adalah lifestyle baru masyarakat urban pada saat ini. We Are Social merilis, hingga November 2015, jumlah pengguna media sosial  mencapai 88,1 juta (dengan perincian active user sebanyak 79 juta ) Inilah kekuatan media sosial pada saat ini sehingga mampu melahirkan berbagai pergeseran lifestyle seperti berbelanja dari dunia nyata (offline) ke dunia maya (online)
Sites.google.com
            Namun gemerlap dunia serba online terkadang masih belum dipahami secara arif oleh sebagian orang. Aspek mental memiliki peran dalam hal ini. seseorang yang gagap dalam menggunakan media ini berakibat buruk bagi pelakunya sendiri dan juga orang lain. Masih ingatkah dengan kasus gadis SMA, Sonya Depari di kota Medan beberapa waktu lalu? kasus Sonya menjadi bukti bahwa internet bisa menjadi momok yang menakutkan dalam bentuk bullying. Terbaru, kasus Bagus Panji di Banyuwangi yang disinyalir menghina Nabi Muhammad SAW melalui akun Facebook (Jawa Pos, 14 Juni 2016). Secara terbuka, ia meminta maaf karena merasa emosional, namun hal ini tetaplah menunjukkan bahwa kegagapan mental masyarakat pada media sosial masih tinggi.  Internet bak pedang bermata dua, ia dapat menelurkan pundi-pundi kemanfaatan namun juga dapat menghabisi mental seseorang dalam hitungan jam bahkan detik. Maka penggunaan media sosial yang benar dan tepat mutlak diberlakukan. 
Peran media sosial bagi keberagaman bangsa  
Suasana desa Balun
(hikmaharifa.blogspot.com)
            Keberadaan media sosial bersifat netral. Namun platform komunikasi dan informasi tersebut sudah seharusnya kita jadikan senjata andalan untuk mewujudkan sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia sebagai wujud bangsa yang majemuk. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam hal ini. pertama, sebagai agen informasi, media sosial dapat mengungkap pola keberagamaan antar umat beragama di berbagai daerah. Di desa Balun, kecamatan Turi Kabupaten Lamongan, Jawa Timur misalnya. Keharmonisan tampak terikat kuat antar pemeluk tiga agama yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Bahkan jarak antar tempat ibadah ketiganya tidak terlalu jauh. Sikap toleransipun ditunjukkan dalam berbagai momentum suci seperti Ramadlan, Lebaran, Nyepi, Natal dan lain sebagainya. 
        Selain di Balun, kampung yang menerapkan toleransi juga terjadi di   Kampung Susuru, Desa Kertayasa, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis. Disitulah berkumpul berbagai kepercayaan keagamaan yang saling menghormati Terakhir, di ujung selatan Tasikmalaya tepatnya Di Kampung Kalaksanaan, Desa Cikaungading, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya juga menjadi wujud keberagaman yang harmonis antar pemeluk agama  
         Model keberagaman dalam masyarakat itulah yang bisa kita gali dengan teliti dan memberitakannya kepada khalayak umum sehingga tercipta opini publik yang membahas tentang toleransi umat beragama.  Kedua, selain sebagai agen informasi, sosial media sebagai media komunikasi antar masyarakat dengan cepat dan praktis. Ketiga, sosial media dapat menjadi piranti canggih untuk mewujudkan metode pembelajaran berbasiskan multikulturalisme dalam berbagai forum diskusi dan terakhir, sosial media dapat mewujudkan web yang kreatif, inovatif dan produktif untuk berperan sebagai media penghubung antar berbagai komunitas sosial maupun keagamaan. Salah satunya seperti yang dijalankan media sosial sebangsa. Mudah-mudahan segenap bangsa dapat berperan aktif dalam mewujudkan kebersamaan tersebut. 
#celebratediversity; #10tahunicrs

Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa” dan diikuti dengan pemasangan logo ICRS Celebrate Diversity, sebagai tanda resmi keikutsertaan kompetisi ini. 
http://icrs.ugm.ac.id/10years.

Previous
Next Post »
ICRS 10th Year Anniversary